“Akhirnya…,”
desisnya pelan. Ia merapikan beberapa lembar pakaian, peralatan mandi dan
kebutuhan sehari-hari ke dalam tas punggungnya, setelah setahun penantiaannya akhirnya
Reno bisa berlibur, penantian yang cukup panjang. Sebagai seorang supervisor
logistic Reno memang telah menghabiskan banyak waktunya dikantor, terlebih
belakangan nilai rupiah terhadap dollar anjlok bukan main, membuatnya harus
rajin rapat dengan direksi, karena naiknya harga bahan baku produksi. Agendanya
pun bertambah yaitu bertemu dengan beberapa supplier, untuk deal harga beli.
Tugas ini memang diberikan sepenuhnya kepadanya, dengan maksud mendidik Reno
untuk lebih bisa menangani hal-hal kecil, mengingat beberapa bulan ini Reno
akan di promosikan menjabat sebagai manager. Tapi rupanya rasa jenuh telah
berontak dalam batinnya, ia ingin bebas, lepas dari segala rutinitas apapun
itu.
“RENO!” panggil suara perempuan dari
lantai bawah, Reno yang masih asyik packing
di kamarnya tak menyadari panggil tersebut, telinganya tersumbat oleh lagu GNR
yang mengalun dengan keras.
“RENO!!!”
sekali lagi suara itu berteriak, menyadari sebuah suara menyelinap masuk dari
lubang udara headsetnya, ia pun terlonjak.
“Iya ma,” sahutnya kemudian
melepaskan headset yang menyumpal telinganya. Ia menuruni anak tangga dengan
semangat. Tinggal beberapa langkah ia menginjakkan kakiknya di lantai bawah,
tetapi Reno malah asyik memperhatikan mama nya yang tengah sibuk menyiapkan
sarapan.
“RENO!!!” teriak wanita berusia 47
tahun itu sekali lagi, ia tak menyadari putra tunggalnya tengah
memperhatikannya. Reno menuruni anak tangga yang tinggal berberapa langkah
secara perlahan, “ampun deh ini anak, kok daritadi dipanggilin gak nyahut?
Pasti kupingya di sumpel! Ckckckckckck!” omel mama yang masih tak sadar Reno
siap mengejutkannya.
“DORRR!” Reno menepuk punggung
mamanya, sontak membuat mama nya terkejut dan menjatuhkan garpu yang sedang di
pegang, sambil tersenyum nakal Reno menyium kening mama.
“Kamu ini! bikin mama jantungan
saja!” ketus mama, seraya mengambil garpu yang berada dilantai.
“Ada apa mama ku yang cantik?” Reno
merangkulkan tanganya di lengan mama, sambil mengerlipkan matanya.
“Kamu yakin mau pergi ke Palu
sendiri? Kenapa tidak mengajak mama?” pertanyaan itu sontak membuat Reno
termenung. Keputusannya ke Palu sendiri itu memang sudah menjadi niatan awal
Reno, ia ingin menikmati kebebasannya sendiri, tanpa beban.
“Bukannya Reno tak mau mengajak
mama, tapi kali ini Reno benar-benar ingin sendiri ma, nanti setelah Reno
pulang dari Palu Reno akan ajak mama jalan-jalan deh, mama mau kemana?” Reno
mengambil roti selai yang sudah disiapkan mama, menarik kursi yang berada di
samping mama, dan melahap roti tersebut dengan potongan cukup besar.
“Mama kan kesepian kalau gak ada
kamu! Makanya, kamu tuh cepetan nikah! Biar mama ada yang menemani!” dua minggu
belakangan, mama memang rajin sekali nyeletuk seperti itu. Reno diam sejenak,
usianya baru 24 tahun. Dan mama sudah menyuruhnya untuk menikah, apa-apaan ini?
Reno masih terlalu muda dan tak ingin menyia-nyiakan masa mudanya. Menggapai
karir setinggi-tingginya, baru deh nikahin anak orang, sekarang ini ia baru
jadi supervisor logistic diperusahan multinasional tempat ia bekerja, gajinya
hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan mama, kalau ditambah istri
bagaimana? Hmmmm.
“Reno?” mama menggoyangkan tubuh
Reno, “kau baik-baik saja, nak?” mama melempar senyum sembari menuangkan orange
juice pada gelas Reno.
“Ya, aku baik-baik saja kok, ma”
Reno kembali melamun sejenak, “mmmm, mama mau Reno ajak traveling kemana? Nanti
Reno atur jadwal cuti buat mama deh, biar kita bisa hunting bareng.” Reno
memasukkan suapan terakhirnya.
“Mama belum ada ide mau kemana, kamu
sendiri ada ide tidak?” mama melempar pertanyaan, menarik kursi minimalis dan
menopangkan dagunya sambil menatap Reno tajam.
“Bandung?” ceplos Reno sekenanya.
“Boleh, sekalian mama silaturahim
dengan tante mu,” senyum mama terkembang menatap Reno yang mulai menyeruput
orange juice.
“Okeh, sekarang Reno mau balik lagi
ke atas, dan siap-siap berangkat, karena Reno gak mau ketinggalan pesawat
lagi,” Reno menepuk punggung mama dengan lembut. Dan pergi meninggalkan mama
yang masih mematung di meja makan.
***
“Huaaaaaaa,” Reno menguap panjang
ketika ia tiba di Bandara Mutiara kurang
lebih 2 jam perjalanan yang ia tempuh,
karena Palu termasuk dalam Indonesia bagian tengah, maka waktu di Palu lebih
satu jam dari Jakarta. Ia melihat ke sekelilingnya, perjalanan kali ini dirasa
kurang karena tak ada yang menemani. Akh, tapi itu semua memang keinginannya,
jadi tak perlu ia misuh-misuh karena tidak ada yang menemani, toh ia sudah
menyewa tour guide selama ia di Palu.
Reno masih memperhatikan sekeliling
bandara, mencari sosok orang yang membawa papan bertuliskan namanya, kacamata oakley
berwarna hitam menutupi sebagian wajahnya. Matanya masih mencari, dan tepat
berada di sebelah baratnya, matanya tertuju pada pria berusia sekitar 30 tahun
dengan polo shirt warna hijau kukus dan celana army 3/8, Reno tersenyum lega,
menemukan tour guide tersebut. Ia
melangkah pasti, melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
“Mas Reno?” tebak lelaki tersebut.
“Ya, Mas Sote?” Reno menujuk kearah
lelaki tersebut seraya mengulurkan tangannya, humble. Itulah pribadi yang dimilikinya.
“Senang bertemu dengan Anda,” lelaki
yang bernama Sote itu, menyambar uluran tangan Reno dengan hangat. Reno
tersenyum dengan santai, “okeh, perjalanan pertama kita langsung ke Desa
Limboro, Benawa Tengah,” imbuh lelaki tersebut, memberi tahu agenda pertama
Reno.
“Sip, atur saja,” Reno tampak
santai, sudah ada yang mengatur jadwal untuk apa dia mempersulit diri, toh Sote
itu memang aseli warga Palu. Jadi gak
mungkin Sote menyesatkannya, dari penampilannya saja. Sote ini terlihat
berkelas, beda sekali dengan kebanyakan tour
guide, yang biasanya dominan memakai hat.
Gaya Sote casual banget, dengan
rambut di spike, siapa yang akan
menyangka lelaki ini tour guide kalau
dia tidak membawa papan nama saat dibandara tadi.
Mobil kombi telah terparkir
didekatnya saat itu, Reno melirik spion sebentar menimbang-nimbang dan
memperhatikan Sote sejenak, kemudian memandangi wajahnya, ia terlihat bersih
karena memang rutin membersihkan wajah dengan facial foam khusus, rambut cepak dengan jambul yang ngalahin
jambulnya Syahrini juga kelihatan keren karena sering kali ia gunakan hair gel, tapi kok kayaknya Sote jauh
lebih keren dibanding dia ya? Nanti orang pikir justru dia lagi yang jadi tour guide. Whatssss? Apa-apaan sih ini? peduli amat sama begituan, saat ini
kan yang terpenting itu liburan. Reno melenggang masuk kombi, duduk dengan selonjoran,
karena kebetulan kombi itu memang dibuat seluas-luasnya dengan tidak memakai
kursi tengah.
“Oke, berangkat pak Surdi!” perintah
Sote, setelah meyakinkan diri tidak ada yang tertinggal suatu apapun.
Sepanjang perjalanan Reno
memperhatikan sekeliling, memasuki pedalaman Palu memang benar-benar berasa
Indonesianya, sepanjang jalan trans Sulawesi menjadi lukisan Tuhan paling asri
saat itu. Seperti hutan kecil yang mengelilingi, dan dari kejauhan terlihat
bukit-bukit yang berwarna kehijauan.
“Keren ya mas pemandangannya?” Sote
membuka pembicaraan, mengingat kliennya ini sedari tadi terdiam. Entah lelah
atau menikmati pemandangan alam yang begitu indah disekelilingnya.
“Ya, sangat. Sangat keren.”
“Ini belum seberapa Mas, kalau mas
Reno sudah menginjakkan kaki ke pantai tanjung karang pasti gak akan hentinya
berdecak kagum,” Reno membetulkan posisi tubuhnya jadi lebih tegak mendengar
perkataan Sote. “Tanjung karang itu, menjadi tempat favorit wisatawan, mas,”
lanjut Sote. “Selain karna airnya yang benar-benar jernih, tanjung karang
terkenal dengan terumbu karang dengan berjuta biota yang bisa dilihat hanya
dengan kedalaman satu meter,” tambah Sote, membuat Reno takjub dan tidak sabar
untuk sampai di pantai tersebut. Snorkeling
adalah hal pertama yang harus ia coba ketika sampai di pantai tersebut.
“Dan pasti mas Reno ini akan betah
berada di sini, apalagi cottage mas
Reno tidak jauh dari pantai, jadi Mas Reno masih bisa menikmati desiran pantai
sekalipun malam tiba,” Pak Surdi ikut nimbrung.
“Wah, kayaknya saya memang tidak
salah memilih tour guide,” Reno
nyengir, sedangkan Sote dan pak Surdi, ikut tertawa dari balik kaca. “BTW, mas
Sote sudah berapa lama jadi tour guide?”
Reno mengalihkan pembicaraan, tapi matanya tetap asyik menikmati pemandangan
disekitarnya.
“Baru kali ini, mas Reno orang
pertama yang mempercayai saya sebagai tour
guide,” cetusnya, spontan Reno menoleh ke arah pemuda itu, dengan dahi
berkerut. Surely? “Tenang saja, mas.
Walaupun saya baru, saya asli orang Palu kok. Jadi mas Reno gak akan tersesat
selama ada saya,” tandasnya. Membuat Reno tenang.
“Oya, panggil saya Reno saja, gak
perlu pakai mas. Saya masih muda kok, baru saja kemarin 24 tahun,” tuturnya. Ia
mengambil air mineral yang berada disamping tas punggungnya. Menenggak air
tersebut perlahan.
“Wah, ternyata kita seusia ya, Ren!”
sahut Sote, sontak membuat Reno hampir tersendak, karena ia mengira Sote sudah
berumur 30 tahun. Untunglah pak Surdi dan Sote tidak begitu memperhatikan
keterkejutannya.
***
Perjalanan
dari Bandara Mutiara Palu ke Desa Limboro ternyata tidak lama, hanya beberapa
menit saja, suara balida[1]
yang berhentakan dengan pasak tenun sudah terdengar dari jauh. Dan Reno baru
menyadari bahwa Sote tengah mengajaknya untuk melihat para wanita Donggala
melestarikan kebudayaan buya sabe[2]
yang sangat terkenal di Sulawesi.
Seperti yang sudah ia siapkan,
kamera DSLR miliknya sudah sangat prima dan siap memotret semua kegiatan wanita-wanita
tersebut. Reno mulai sibuk mencari posisi untuk memotret, keindahan buya sabe
memang membuatnya tak henti-hentinya memotret semua tenunan yang dihasilkan
wanita-wanita Donggala itu. Dan unik nya lagi, tidak hanya wanita paruh baya
yang sibuk menenun, remaja Donggala pun banyak yang ikut menenun buya sabe.
Corak buya sabe hampir rata-rata berbentuk bunga, jadi sangat manis dilihatnya.
Reno sudah memilih-milih buya sabe untuk mama.
“Mas Reno ingin membeli buya sabe
untuk oleh-oleh orang rumah?” tanya Sote, yang sedari tadi mengikuti arah kaki
Reno. Tapi Reno tengah asyik membidik pemandangan lain sehingga pertanyaan Sote
tidak ia dengar. “Rupanya, memotretnya seru sekali ya, mas?” imbuh Sote,
kemudian melempar senyum saat Reno menoleh.
“Sorry, sorry, kamu tadi tanya apa?”
“Mas Reno, mau beli buya sabe tidak
buat oleh-oleh?” Sote mengulang pertanyaan.
“Pasti dong, buat mama,” ujarnya
singkat, kembali memotret pemandangan yang sempat hilang dari lensanya.
“Kalau mas Reno membeli buya sabe
langsung disini, harganya jauh lebih murah daripada beli di outlet,” Sote menjelaskan, berusaha
seprofesional mungkin sesuai dengan profesinya saat itu. Tapi rupanya Reno
masih asyik memotret sosok wanita muda yang tengah asyik belajar menenun pada
seorang wanita paruh baya beberapa meter dari tempat ia berdiri. Saat fokus
bidiknya mengenai wanita muda itu, tak disangka wanita tersebut tersenyum ke arah
lensanya. Membuat Reno melepaskan bidikannya, dan melempar senyum kembali pada
si pemilik senyum yang manisnya seperti gulali. Wanita itu memang cantik,
rambut hitam nya tergerai dengan lurus, matanya belo, hidungnya mancung kurus,
dan bibirnya sangat imut, dan ada lesung pipinya juga saat ia tersenyum.
“Namanya Ayla, dia temanku, mau aku
kenali?” seru Sote, membuat Reno salting karena ketahuan aksinya sedari tadi.
“Santai saja, gak perlu salting. Ayla sangat ramah kok,” tambah Sote. Saat itu
juga, Sote melambaikan tangan pada wanita muda tersebut, lambaiannya pun
disambut dengan senyum oleh wanita yang diketahui bernama Ayla. Mereka semakin
dekat dan akhirnya mereka berada pada jarak yang begitu dekat. “Ayla, kenalin
nih, ini klien ku,” Sote memperkenalkan Ayla dengan Reno.
“Reno,” ia mengulurkan tangan lebih
dulu.
“Ayla,” singkat, wanita itu menjawab
sambil menerima uluran tangan Reno.
“Ayla ini wanita nasionalisme Ren,
jadi kalau kamu mengetahui banyak hal tentang tradisi dan budaya Indonesia,
pasti kamu nyambung ngobrol dengan dia,” Sote mendeskripsikan teman wanitanya,
Ayla hanya tersenyum saja mendengar Sote lebih dalam memberikan informasi
tentangnya.
“Oh gitu, keren,” komentar Reno,
bingung mau ngomong apa lagi.
“Santai saja, saya gak galak kok.
Jadi gak usah tegang gitu,” celetuk Ayla, membuat Reno semakin mati kutu karena
ketahuan. Sedangkan Sote malah asyik terbahak mendengar celetukan Ayla.
Perkenalan singkat itu, menjadikan
kota Donggala semakin hidup untuk Reno. Tidak hanya dapat pengalaman baru, tapi
ia juga mendapati pengetahuan baru. Dimana Negara yang ia tinggali saat ini,
memiliki banyak sekali budaya yang harus dilestarikan dan dikenalkan kepada
dunia. Dan satu lagi yang ia dapatkan, teman baru yang begitu bersahabat
terhadapnya.
Setelah perjalanan di Benawa Tengah
dirasa cukup, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju cottage, kebetulan cottage yang Ayla tempati masih satu tempat dengan cottage Reno,
sehingga saat itu mereka bersama-sama menuju cottage. Sayangnya, dalam perjalanan Reno tidak berani mengeluarkan
satu kata pun kepada wanita yang ada disampingnya, ia memilih diam seribu
bahasa. Hingga ia tak menyadari betapa jantungnya berdegup lebih kencang dari
biasanya, mungkin barangkali sudah hampir copot.
***
Cottage yang ditempati
Reno cukup besar, dengan satu ruang tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur.
Dengan pelitur khas kayu jati, cottage
itu sangat kentara Indonesia, ada sebuah lukisan juga di dindingnya, frame nya terbuat dari kayu juga.
Lukisan yang menggambarkan symbolis daripada bhinneka tunggal ika. Sebuah nama kecil
tertulis disudut canvas, Amel. Lukisan itu terlihat sangat hidup, Reno masih
memandangi lukisan tersebut.
“Amel, dia anaknya pak Surdi.
Usianya sebelas tahun, tapi jago sekali melukis. Ini lukisan terakhir yang
dibuat Amel sebelum ia dipanggil Tuhan,” Reno menoleh ke asal suara, rupanya Sote
tengah berdiri dibelakangnya.
“Wow, sebelas tahun bisa melukis
sekeren ini?” Reno mendelik menatapi lukisan tersebut, masih tidak percaya atas
pernyataan Sote.
“Ya, begitulah. Oya, berhubung sudah
menunjukkan pukul empat sore, lebih baik Reno istirahat saja dulu, tapi kalau
Reno tidak capek, Reno bisa lihat pemandangan laut diluar. Pokonya senyamannya
Reno saja, satu lagi nanti akan ada pramusaji yang membawakan makan malam,
kalau jam 7 belum ada yang datang. Reno bisa langsung panggil saya saja di cottage belakang,” Sote menjelaskan
panjang lebar.
“Okeh!” tanpa banyak basa-basi Reno
mengiyakan, LELAH. Itu yang saat ini ia rasakan, ia ingin segera menjatuhkan
tubuhnya pada kasur empuk yang telah disediakan, kalau mau lihat laut sih
gampang, wong lautnya juga gak kemana-mana. Tetapi, sebelum Sote melangkah
lebih jauh… “Sote, kamu mengenal Ayla dengan baik?” pertanyaan itu sontak
membuat Sote membalikkan badannya, dan kembali mendekati Reno.
“Ya, Ayla itu teman ku saat kami
sama-sama ikutan bakti pemuda antar propinsi. Ayla itu perwakilan Jawa Barat
loh, dia asli orang Bandung,” Sote menjelaskan, Reno manggut-manggut dan
tersenyum senang mendengar kata Bandung, yang artinya dekat dengan Jakarta.
“Sudah, jangan dipikirkan terus, besok pasti ketemu lagi dengannya,” ledek
Sote.
“Aku hanya ingin mengenalnya saja,
dia sangat beda dengan wanita-wanita yang selama ini aku kenal. Kamu tahu kan
wanita Jakarta itu seperti apa? Teman-teman wanita ku hampir rata-rata socialite, beda sekali dengan Ayla yang
begitu sederhana,”
“Ya, Ayla adalah wanita Indonesia,
jika kamu mau melihat wanita asli Indonesia, lihatlah Ayla, karena dia memiliki
kecantikan wanita Indonesia yang sesungguhnya.”
“Ya, barangkali aku memang tersihir
karenanya,” celetuk Reno.
“Sudah, dilanjut besok saja perkara
hatimu,” ujarnya kemudian, ada getaran berbeda di hatinya saat berujar seperti
itu.
Sote pun meninggalkan Reno dengan
santun, lelaki itu menutup pintu cottage Reno rapat-rapat. Pengalaman
pertamanya menjadi seorang tour guide lumayan berhasil. Kalau bukan karena
ingin membelikan hadiah kain Donggala yang sangat mahal pada seseorang yang
special, Sote gak akan mau melakukan ini semua. Tapi, menyenangkan juga bisa
berbagi informasi tentang kota kelahirannya. Siapa tahu suatu saat pantai
tanjung karang akan lebih terkenal dibandingkan dengan pantai Sanur, maupun Kute,
Bali.
***
Reno mengucek matanya perlahan, alarm di handphone nya telah berbunyi dengan nyaring. Reno beranjak dari
tempat tidur, masih dalam keadaan setengah sadar, Reno berjalan menuju pintu
dan keluar untuk menikmati pagi di Donggala. Hamparan lauatan berwarna orange
menyambutnya, hasil pantulan dari matahari yang perlahan naik memberikan lukisan
luar biasa indah dipandang oleh mata.
Dalam pandangan nya saat ini sesosok wanita tengah membentangkan kedua
tangannya menghadap matahari. Rupanya ia tengah menyambut si raja siang terbit.
Reno mengucek mata perlahan, takut-takut yang dilihat hanya imajinasi. Tapi
ternyata, sosok itu benar Ayla.
“Heiiii!!! Sini!!!” panggil Ayla,
menyadari Reno tengah asik memperhatikannya. Ragu, tapi akhirnya Reno
memutuskan untuk menghampiri wanita tersebut.
“Heiiii,” sapanya datar, kemudian
melempar senyum.
“Kenapa hanya memperhatikan dari jauh?
Ayo ikuti aku seperti ini!” Ayla membentangkan kedua tangannya lagi. Reno
memperhatikan takjub, tapi mengikuti wanita tersebut.
“Kenapa harus melakukan ini?”
komentar Reno, setelah membetangkan kedua tangannya.
“Menyambut mentari itu, berarti
semangat untuk menyongsong hari,” tutur Ayla masih menatap mentari yang
perlahan semakin terlihat wujudnya. Reno mengernyitkan dahinya, menoleh pada
wanita yang sedang ia temani. “Jangan aneh seperti itu, inilah aku. Oya dalam
rangka apa Reno ke sini?” Ayla berusaha mengalihkan pembicaraan, mengingat
lawan bicaranya mulai menatapnya dengan aneh.
“Hanya liburan saja,” singkat.
Jawaban itu selalu saja pendek, membuat orang yang bertanya langsung berubah mood.
“Hanya liburan? Sayang sekali ya?
Aku pikir, kamu ke Donggala memang dengan tujuan yang spesifik. Mengenal
kebuadayaannya gitu, atau nggak memang berniat untuk memperkenalkan pantai ini
keteman-temanmu,” Ayla menjatuhkan tubuhnya pada pasir putih, tanpa alas. Reno
hanya mampu memperhatikan gerak tubuh wanita itu.
“Yaaa…, tujuan ku memang hanya
liburan saja. Kalau ingin mengenalkan pantai ini ke teman-teman, aku rasa
hampir semua temanku tahu pantai tanjung karang….”
“Salah, karena setahu ku gak semua
orang yang tahu pantai indah ini,” potong Ayla. Reno, mendesah pelan, kemudian
duduk disamping Ayla.
“Mungkin itu pendapat kamu, tapi
menurut ku tidak,” tegas Reno.
“Pantai ini termasuk sepi pengunjung,
karena tak banyak wisatawan yang tahu. Coba saja nanti siang kamu perhatikan,
pantai ini tidak seramai Sanur maupun Kuta, bahkan Ancol sekalipun. Padahal
untuk panorama dan keindahan, pantai ini jauh lebih bersih dan enak dinikmati,
apalagi untuk snorkeling dan diving,” Ayla menjelaskan, Reno manggut-manggut
saja.
“Oya,
nanti siang aku mau snorkeling, temani ya?” tanpa ragu, Reno melontarkan
permintaan kepada Ayla, anggukan kecil pun memberikan jawaban. “Waktu aku
browsing di mbah google, katanya terumbu karang disini sangat bagus ya?” kini
Reno berusaha untuk membuka topik.
“Sangat,
sangat bagus. Gak sampai 1 meter juga udah terlihat terumbu karang, ikan-ikan
kecil yang datang sekelompok, pokoknya keren deh, dan gak bisa diungkapin
dengan kata-kata,” Ayla menjelaskan dengan semangat.
“Kamu
ini tahu banyak hal ya tentang pantai ini?”
“Aku
cinta Indonesia, karena kebudayaan yang beragam dan tempat-tempat wisata nya
yang bagus banget. Kamu tahu pantai ranca buaya di Bandung?” tanya Ayla,
spontan Reno menggeleng, bukan gak cinta sama negaranya, tapi memang dia baru
pertama kali mendengar pantai itu. “Kamu ini payah sekali ya, ranca buaya juga
indah, tapi… tetap sih tanjung karang lebih indah dari pantai mana pun yang aku
kunjungi. Apalagi ombak dipantai ini sangat tenang, mungkin bagi pecinta surfing pantai ini kurang asik. Tapi
buat orang yang sangat mengagumi flora dan fauna laut, pasti suka sekali dengan
pantai ini,” Reno mematung mendengar Ayla panjang lebar memberikan informasi
kepadanya. Suasana pun kemudian hening.
“Kamu
dekat ya dengan Sote?” Reno mengganti topik pembicaraan. Karena otaknya sudah
mentok mau nanya apa lagi, apalagi kalau tentan pariwisata di Indonesia, pasti
Ayla mampu untuk menjawabnya.
“Kang
Sote, sudah seperti kakak ku sendiri, kenapa?”
“Sepertinya
Sote menganggap mu spesial, aku bisa melihat semua dari sorot matanya,” sontak
pernyataan Reno membuat Ayla merasa risih.
Memang,
Sote pun pernah bilang kepada Ayla bahwa Ayla adalah wanita yang sangat spesial.
Bahkan semalam, Sote memberikannya hadiah buya sabe. Ayla tidak pernah
memungkiri dan menghindari perhatian yang diberikan Sote, tetapi keinginannya
saat ini belum benar-benar tercapai, ia hanya ingin fokus pada cita-citanya.
“Kenapa
diam?” Reno membuyarkan lamunan Ayla.
“Tidak
apa-apa, aku rindu dengan aktifitasku di Bandung.”
“Oya,
memang kamu sibuk apa?” tanya Reno, penasaran.
“Mengajar,”
Ayla menjawab singkat.
“Profesi
yang sangat mulia,”
“Aku
mengajarkan anak-anak memainkan alat musik,” ungkap Ayla, Reno menoleh ke Ayla.
“Wow,
piano? Gitar? Atau biola?” tebak Reno.
“Sebentar,”
Ayla beranjak dari posisi duduknya, kemudian berlari meninggalkan Reno.
Bayangan Ayla pun hilang dibalik cottage yang ia tempati.
Reno
kembali melempar pandangannya pada hamparan laut, mentari telah tinggi saat
ini. Mungkin sudah pukul 07.00 pagi waktu Indonesia bagian tengah.
“Nih,”
Ayla menyodorkan alat musik yang sangat familiar.
“Angklung?”
Reno mengernyitkan dahi sambil membunyikan angklung tersebut.
“Yaaa,
betul sekali. Menciptakan nada yang baik dari angklung itu kan gak bisa
sendiri, harus ada kekompakan dalam satu grup. Disitu aku juga mengajarkan
mereka untuk saling membutuhkan satu sama lain,” tuturnya. Ayla punya cita-cita
membuka sanggar, saat ini ia memang sudah menjadi pengajar, tapi sanggar yang
didirikan belum sepenuhnya sesuai dengan keinginannya.
“Kamu
emang beda ya?” puji Reno, Ayla hanya mengankat kedua bahunya sambil tersenyum.
“Kalau
kamu mau, angklung ini buat kamu,” ujar Ayla. Reno terbelalak, Ayla memang
sangat berbeda dengan wanita kota pada umumnya.
“Yakin?”
Reno memastikan, Ayla pun mengangguk.
“Hai!
Ternyata kalian ada disini ya?” suara barito itu membuat keduanya menoleh.
Sote. Kali ini ia ikut nimbrung di antara mereka, dan asik berbincang tentang
keindahan Indonesia yang exotic.
Terlebih siang nanti mereka akan snorkeling bersama.
Dan
saat itu juga Reno menyadari satu hal, bahwa ia adalah seorang generasi penerus
bangsa, yang harus melestarikan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Terlebih
saat melihat Ayla dengan semangatnya memperkenalkan berbagai macam kebudayaan
dan kekayaan Indonesia. Ia merasa sangat bangga pada wanita tersebut, dari
sekian wanita yang ia temui baru kali ini ada wanita yang lebih senang bekerja
karena jiwa nasionalismenya.
Saat
ini hanya satu keinginan Ayla, Pantai Tanjung Karang menjadi destinasi
terbanyak wisatawan nantinya, makanya ia semangat sekali ketika orang bertanya
tentang pengalamannya ketika di Palu, hal yang pertama kali ia ceritakan adalah
pantainya, dengan begitu ia bisa mengenalkan ke semua temannya bahwa tidak
hanya Bali dengan pantai Sanur dan Kuta yang begitu terkenal indah, tetapi Palu
juga punya pantai yang lebih indah.
Reno
mungkin tidak akan melupakan pengalamannya saat ini, bertemu dengan Sote yang
sangat bersahabat, dan bertemu dengan wanita yang begitu istimewa, barangkali
kalau ia sudah di Jakarta ia akan rindu pada senyum yang hanya ia temukan di
kota ini, Donggala.
***